Menjelang akhir tahun 2021, cukup banyak "Surat Cinta" dari KPP mempertanyakan transaksi untuk tahun tahun 2016 sd 2019, mungkin ini langkah ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan pembayaran pajak diakhir tahun 2021 yang targetnya masih belum terpenuhi.
Surat dari KPP yang kita kenal sebagai SP2DK, ada beberapa kali kami menerima SP2DK perihal blm dibayarnya PPN / denda keterlambatan pembayaran PPN atas transaksi supplier dengan pihak Wajin Pungut (WAPU), yang mana surat ini ditujukan kepada Supplier dan menginformasikan agar atas pajak yang kurang dibayar tersebu, dilakukan pembayaran oleh supplier.
Dari latar belakang tersebut, artikel ini kita coba ulik apakah sudah benar SP2DK tersebut di tujukan kepada Supplier Wapu. Mari kita mulai..
Pertama, kita perlu mengetahui siapa saja badan usaha yang masuk dalam kategori WAPU, berikut listnya :
1. Bendaharawan Pemerintah dan KPKN
PMK - 231/PMK.03/2019. Bendaharawan yang dimaksudkan yaitu bendahara maupun pejabat yang bertransaksi dengan dana yang asalnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
2. Kontraktor Kontrak Kerja Sama
PMK - 73/PMK.03/2010, kontraktor kontrak kerja sama adalah salah satu badan yang termasuk Wapu. Kontraktor kerja sama sendiri dimaksudkan sebagai berikut:
- Kontraktor kontrak kerja sama pengusahaan minyak beserta gas bumi.
- Kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi, yang meliputi kantor pusat, cabang, maupun unitnya
3. BUMN
PMK - 85/PMK.03/2012.
4. Badan Usaha Tertentu
PMK - 37/PMK.03/2015
Kedua, kita perlu tau berapa nilai transaksi yang menjadi kewajiban perpajakan bagi WAPU baik sebagai pemungut PPN :
Jika ada suatu kontrak dengan nilai diatas 10 Juta, akan tetapi didalam perjanjian, mengatur tatacara pembayaran yang menyebabkan penagihannya dibawah 10 Juta, maka setiap transaksi tersebut tetap menggunakan kode FP 030. Sehingga dalam kondisi ini kita sangat perlu teliti dalam menerbitkan FP dengan cross check dengan kontraknya, agar tidak salah dalam penerbitan FP.
Ketiga, selain kewajiban pemungutan PPN, ada juga kewajiban pemungutan PPh 22
Pemungutan PPh 22 yang dilakukan oleh WAPU adalah atas Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja negara/daerah yang jumlahnya lebih dari dari Rp 2.000.000,- (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah). Tarif PPh 22 ini, adalah 1,5 % dari nilai sebelum PPN.
Kewajiban perpajakan bagi pemungut PPN dan PPh 22, adalah melakukan penyetoran, melakukan pelaporan atas pemotongan PPh dan memberikan bukti potong atas pemungutan tersebut kepada suppliernya. Kewajiban perpajakan in tertulis dalam ketentuan yang telah di sebutkan diatas. Dan baru baru ini, diterbitkan PMK-59 thn 2022. yang lebih mempertegas hal tersebut.
Sesuai dengan ketentuan perpajakan sudah sangat jelas bahwa kewajiban perpajakan atas pemungutan PPN dan PPh 22 yang dilakukan oleh WAPU BUKAN OLEH SUPPLIER.
Dengan demikian SP2DK yang diterbitkan oleh KPP kepada supplier WAPU yang meminta pembayaran pajak atas kealpaan dari WAPU menjadi kurang tepat dan tidak memiliki dasar yang jelas.
Sudah saatnya DJP, lebih sering melakukan sosialisasi mengenai kewajiban perpajakan bagi pemungut PPN dan PPh 22 khususnya di Bendahara Pemerintah, agar pelaksana anggaran lebih update mengenai regulasi perpajakan.
Demikian ulasan singkat dari kami.
Thanks